INFLASI
I.
PENDAHULUAN
Inflasi
merupakan salah satu masalah ekonomi yang banyak mendapatkan perhatian para
pemikir ekonomi. Pengertian inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi.
Syarat adanya kecenderungan menaik yang teus menerus juga perlu diingat, karena
kenaikan harga karena musiman, menjelang hari-hari besar atau yang terjadi
sekali saja, dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan tidak disebut inflasi.
Jika
seandainya harga-harga dari sebagian barang diatur diatur pemerintah, maka
harga-harga yang dicatat oleh Biro Statistik mungkin tidak menunjukkan
kenaikan apapun karena yang dicatat adalah harga harga "resmi"
pemerintah. Tetapi kenyataan yang terjadi ada kecenderungan bagi harga-harga
untuk terus menaik. Dalam hal ini inflasi sebetulnya ada, tetapi tidak diperlihatkan.
Keadaan ini disebut "suppressed
inflation" atau "inflasi
yang ditutupi" , yang pada suatu waktu akan terlihat karena
harga-harga resmi makin tidak relevan dalam kenyataan.
II.
MACAM
INFLASI
A. Berdasarkan parah tidaknya inflasi
:
1. Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
2. Inflasi sedang (antara 10 - 30%
setahun)
3. Inflasi berat (antara 30 - 100% setahun)
4. Hiperinflasi (di atas 100% setahun)
B. Berdasarkan penyebab dari Inflasi
1. Demand
inflation / inflasi permintaan
Inflasi ini timbul karena permintaan
masyarakat akan berbagai macam barang terlalu kuat.
2. Cost
inflation / inflasi penawaran.
Inflasi ini timbul karena kenaikan biaya produksi atau berkurangnya
penawaran agregatif.
C. Berdasarkan asal dari inflasi
1. Inflasi yang
berasal dari dalam negeri (domestic
inflation)
2. Inflasi yang
berasal dari luar negeri (imported
inflation)
III.
Mengukur inflasi
- Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.
- Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI).
- Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan tingkat IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.
- Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.
- Indeks harga barang-barang modal
- Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa.
IV. Peran bank sentral
Bank sentral memainkan peranan penting dalam
mengendalikan inflasi. Bank sentral suatu negara pada umumnya berusaha
mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat yang wajar. Beberapa bank sentral
bahkan memiliki kewenangan yang independen dalam artian bahwa kebijakannya
tidak boleh diintervensi oleh pihak di luar bank sentral -termasuk pemerintah.
Hal ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral yang
kurang independen -- salah satunya disebabkan intervensi pemerintah yang
bertujuan menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian -- akan
mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi.
Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau
tingkat suku
bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, bank sentral
juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini
disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan
oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation targeting
banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk oleh Bank
Indonesia.
Inflasi
permintaan ini disebabkan oleh permintaan masyarakat akan barang-barang (aggregate demand) bertambah
misalnya, karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai
dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang
ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah, maka kurva agregate demand
bergeser dari D1 ke D2. Akibatnya tingkat harga umum naik dari H1 ke H2.
Inflasi
yang timbul karena kenaikan biaya produksi, yaitu karena kenaikan harga
sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri, atau karena kenaikan bahan
bakar minyak) maka kurva penawaran measyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2.
Perbedaan dari kedua macam inflasi ini adalah:
1. Perbedaan dalam
hal akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi volume output, karena dari segi harga output tidak berbeda.
Dalam kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan outputnya (GDP riil)
menaik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya kenaikan output
ini tergantung tegantung pada eltisitas kurva agregate supplay, semakin
mendekati output maksimum semakin tidak elastis kurva tsb.
Sebaliknya dalam kasus cost inflation biasanya
kenaikan harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang
(kelesuan usaha).
2. Perbedaan dalam
hal urutan dari kenaikan harga.
Dalam
demand inflation kenaikan harga barang (output) mendahului kenaikan harga
barang-barang input dan harga- harga faktor produksi (upah dsb).
Sedangkan
dalam dalam cost inflation kenaikan harga barang -barang input dan harga-harga
faktor produk mendahului kenaikan harga barang-barang akhir (output).
Penggolongan Inflasi ditinjau dari asal inflasi
1.
Inflasi dari dalam negeri timbul
misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang
baru, panenan gagal dsb.
2. Inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang
timbul karena kenaikkan harga-harga
(yaitu:inflasi) di luar negeri atau di negara-negara langganan berdagang kita.
Kenaikkan harga
barang-barang yang kita impor mengakibatkan:
1. Secara langsung kenaikan indeks biaya hidup
karena sebagian dari barang-barang yang tercakup di dalamnya berasal dari
impor.
2. Secara tidak langsung menaikkan indeks harga
melalui kenaikan biaya produksi (dan kemudian, harga jual) dari berbagai barang
yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus diimpor (cost
inflation)
3. Secara tidak langsung menimbulkan kenaikan
harga di dalam negeri, karena kenaikkan harga barang-barang impor mengakibatkan
kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga
impor tsb (demand inflation).
Penularan inflasi
dari luar negeri ke dalam negeri bisa pula melalui kenaikan harga barang-barang
ekspor dan saluran-salurannya hanya sedikit berbeda dengan penularan lewat
kenaikan harga barang-barang impor.
1. Bila harga barang-barang ekspor seperti kopi
teh minyak kelapa sawit naik, maka indeks biaya hidup akan naik pula sebab
barang- barang tsb langsung masuk dalam daftar barang- barang yang tercakup
dalam indeks harga.
2. Bila harga barang-barang ekspor (seperti,
kayu,karet, timah, dsb) naik, maka biaya produksi dari barang-barang yang
menggunakan barang-barang tsb dalam proses produksinya (perumahan, sepatu,
kaleng, dsb) akan naik, dan harganya akan naik pula (cost inflation).
3. Kenaikan harga barang-barang ekspor berarti
kenaikan penghasilan eksportir. Kenaikan penghasilan ini akan dibelanjakan
untuk membeli barang-barang , baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bila
jumlah barang yang tersedia di pasar tidak bertambah, akibatnya harga-harga
barang lain akan naik pula (demand inflation).
V. TEORI INFLASI
Secara garis besar
3 kelompok teori mengenai inflasi, masing-masing
menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses inflasi, yaitu:
1. Teori Kuantitas
Teori ini menyoroti
peranan dalam proses inflasi dari:
a. Jumlah uang yang beredar
b. Psikologi (harapan) masyarakat mengenai
kenaikan harga-harga (expectation)
Inti dari teori ini
adalah :
a. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada
penambahan volume uang yang beredar (berupa penambahan uang cartal atau
penambahan uang giral).
b. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan
jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi (harapan) masyarakat mengenai
kenaikan harga-harga di masa mendatang.
Ada 3 kemungkinan keadaan :
1. Keadaan
pertama, apabila masyarakat tidak (atau belum) mengharapkan harga-harga untuk
naik pada bulan bulan mendatang.
Dalam hai ini, sebagian besar dari
penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima masyarakat untuk menambah
likwiditasnya (yaitu, memperbesar pos Kas dalam buku neraca para anggota masyarakat).
Ini berarti sebagian besar dari kenaikan
jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Sehingga tidak
akan ada kenaikan permintaan yang berarti akan barang-barang, jadi tidak ada
kenaikan harga barang-barang.
Dalam keadaan seperti ini kenaikan jumlah
uang beredar sebesar 10% diikuti oleh kenaikan harga- harga sebesar, misalnya
1%.
Keadaan ini biasa dijumpai pada waktu
inflasi masih baru mulai dan masyarakat masih belum sadar bahwa inflasi sedang
berlangsung.
2. Keadaan
Kedua adalah di mana masyarakat atas dasar pengalaman di bulan bulan sebelumnya
mulai sadar adanya inflasi.
Penambahan
jumlah uang yang beredar digunakan oleh masyarakat untuk membeli barang-barang
(memperbesar pos aktiva barang-barang didalam neraca).
Kenaikan harga (inflasi) adalah suatu
pajak atas saldo kas masyarakat, karena uang semakin tidak berharga. Dan
orang-orang berusaha menghindari pajak ini dengan mengubah saldo kasnya menjadi
barang. Sehingga permintaan akan barang-barang melonjak, akibatnya harga
barang-barang tersebut juga mengalami kenaikkan.
Pada keadaan ini kenaikan jumlah uang
sebesar, misalnya 10% akan diikuti dengan kenaikan harga barang mungkin sebesar
10% pula.
3. Keadaan Ketiga adalah tahap Hiperinflasi, yakni orang-orang sudah
kehilangan kepercayaan terhadap nilai mata uang. Keadaan ini ditandai oleh
makin cepatnya peredaraan uang (velocity of circulation yang menaik). Uang yang
beredar sebesar misalnya 20% akan mengakibatkan kenaikan harga lebih besar dari
20%.
2. Teori Keynes
Menurut teori ini,
inflasi terjadi karena suatu masyarakat
ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut
pandangan ini adalah proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-
kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang bisa
disediakan oleh masyarakat. Proses perebutan ini diterjemahkan menjadi keadaan
di mana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-
barang yang tersedia (timbulnya inflationary gap).
3. Teori Strukturalis
Adalah teori
mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di negara Amerika Latin. Teori
ini memberi tekanan pada ketegaran
(rigidities) dari struktur perekonomian yang sedang berkembang. Karena
inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian
(faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang)
maka teori ini disebut juga teori inflasi jangka panjang.
Menurut teori ini
ketegaran utama ada dua macam:
1. Ketegaran yang pertama berupa ketidakelastisan
dari penerimaan eksport., yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban
dibanding dengan pertumbuhan sektor- sektor lain.
Kelambanan ini disebabkan oleh:
a. Harga di pasar
dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan
dibanding dengan barang-barang impor yang harus dibayar (term of trade makin memburuk).
b. Supplay atau produksi barang-barang ekspor
yang tidak responsif terhadap kenaikan harga (supplay barang-barang ekspor
yang tidak elastis).
Kelambanan pertumbuhan penerimaan ekspor
ini, berarti kelambanan pertumbuhan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang
dibutuhkan (untuk konsumsi maupun investasi). Akibatnya negara tersebut
mengambil kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada penggalakkan produksi
dalam negeri dari barang-barang yang sebelumnya diimpor (import substitution
strategy), meskipun biaya produksi dalam negeri lebih tinggi dan berkualitas
rendah daripada barang- barang sejenis yang diimpor. Biaya yang lebih tinggi
ini mengakibatkan harga yang lebih tinggi pula.
Bila proses substitusi impor ini makin
meluas, biaya produksi juga meluas ke berbagai barang, sehingga makin banyak
harga barang yang naik, dan inflasipun terjadi.
2. Ketegaran Kedua
berkaitan dengan ketidakelastisan dari supplay atau produksi bahan makanan di
dalam negeri. Produksi bahan makanan dalam negeri tidak tumbuh secepat
pertambahan penduduk dan penghasilan per kapita, sehingga harga bahan makanan
di dalam negeri cenderung untuk menaik melebihi kenaikan harga barang- barang
lain. Akibat selanjutnya adalah timbulnya tuntutan karyawan untuk memperoleh
kenaikan upah. Kenaikan upah berarti kenaikan ongkos produksi, yang berarti
kenaikan harga barang-barang tersebut. Kenaikan harga tersebut menyebabkan
tuntutan kenaikan upah lagi. Dan kenaikan upah ini diikuti kenaikan
harga-harga. Demikian seterusnya.
Kesimpulan dari teori strukturalis yaitu:
1. Teori ini menerangkan proses inflasi jangka
panjang di negara- negara yang sedang berkembang.
2. Jumlah uang yang beredar bertambah secara
pasif mengikuti dan menampung kenaikan harga barang-barang tersebut. Proses
inflasi tersebut dapat berlangsung terus hanya bila jumlah uang yang beredar
juga bertambah terus.
Tanpa
kenaikan jumlah uang, proses tersebut akan berhenti dengan sendirinya.(juga
dalam teori Keynes dan teori kuantitas).
3.
Tidak jarang faktor-faktor struktural
yang dikatakan sebagai sebab musabab yang paling dasar dari proses inflasi
tersebut bukan 100% struktural. Sering dijumpai bahwa ketegaran ketegaran
tersebut disebabkan oleh kebijaksanaan harga/moneter pemerintah sendiri.
VI.
DAMPAK INFLASI
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif-
tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru
mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih
baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk
bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang
parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi),
keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang
menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan
produksi
karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti
pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan
kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi
semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat
merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada
tahun 1990, uang
pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau
tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah.
Artinya, uang pensiunnya
tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, orang yang
mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha,
tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang
bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang
semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat
inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan
menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang
dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi
menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai
uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau
pihak yang meminjamkan uang
akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika
dibandingkan pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang
diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi,
produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi
pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi
hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan
produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu.
Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut
mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya
investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman
modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan,
ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.