MAKALAH EKONOMI ISLAM
“FIAT MONEY”
MEMBUAT SENGSARA UMAT
Nama : M.
As’ad Firdaus
Nim : F0111044
Jurusan :
Ekonomi Pembangunan
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME. Bahwa penulis telah
menyelesaikan tugas mata kuliah Ekonomi Islam yang
berjudul “ Fiat Money Menyengsarakan Umat ” dengan
baik.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan dosen dan teman-teman,
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
- Bapak Sumardi selaku dosen bidang studi Ekonomi Islam yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
- Teman-teman yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
Akhirnya penulis berharap semoga Tuhan YME memberikan imbalan yang
setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua
bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak
kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
M. As’Ad
Firdaus
I. PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Uang dalam ilmu ekonomi
tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara
umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap
orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi
modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum
diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa
serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran hutang. Beberapa ahli
juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Uang
yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang.
Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha
memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar,
membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan
untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa yang diperolehnya itulah yang
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan selanjutnya
mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata
tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh
barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang
mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya.
Akibatnya muncullah sistem'barter'yaitu barang yang ditukar dengan barang.
Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem
ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang
yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan
untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai
pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya,
mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk
digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat
pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted)
benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai
magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer
sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar
maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih
terlihat sampai sekarang orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang
berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.
Meskipun alat tukar
sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara
lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan
sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation)
menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan
benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama. Kemudian
muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar
karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak
mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah
dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi
syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga
disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik
(nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata
uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur,
menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang
logam. Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul suatu anggapan
kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang
logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas.
Penggunaan uang logam
juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang
kertas Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan
emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata
lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100%
dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan
sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan
selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai
alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut
sebagai alat tukar.
B. FUNGSI UANG MENURUT SYARIAT ISLAM
Menurut ekonomi Islam, uang di pandang sebagai alat
tukar, bukan suatu komoditas. Selain sebagai alat tukar, uang juga berfungsi
sebagai pengukur harga (standar nilai), hal ini sesuai denbgan definsi uang
yang dirumuskan Taqyuddin An-Nabhani, dalam buku An-Nizham Al-Iqtishadi
Al-Islami. Menurutnya uang adalah standar nilai pada barang dan jasa. Oleh
karena itu, dalam ekonomi Islam, uang di defenisikan sebagai sesuatu yang
dipergunakan untuk mengukur harga setiap barang dan jasa.
Diterimanya peranan uang ini, secara luas, dengan maksud untuk mempermudah
proses transaksi, sebagai alat ukur dan menghapuskan ketidakadilan dan
kezaliman dalam ekonomi tukar-menukar. Karena ketidakadilan dalam ekonomi
barter, digolongkan sebagai riba fadhal. Barter adalah sebuah metode pertukaran
yang tidak praktis dan umumnya menunjukkaan banyak kepicikan dalam mekanisme
pasar. Jadi, dibutuhkan sebuah sistem penukaran tepat guna yang praktis, yakni
uang. Kemudian,
karena majunya peradaban, uang dikembangkan sebagai ukuran nilai dan alat
tukar. Nabi Muhammad saw menyetujui penggunaan uang sebagai alat tukar. Beliau
tidak menganjurkan barter, karena ada beberapa praktek yang membawa kepada
ketidakadilan dan penindasan. Barter hanya diterima dalam kasus terbatas. Nabi
menasehatkan agar menjual sebuah produk dengan uang, dan membeli produk yang
lain dengan harganya dengan
demikian, ajaran Islam sangat mendukung tungsi uang sebagai media petukaran
(medium of exchange) karena banyak hadis-hadis Rasulullah yang tidak
menganjurkan barter tetapi sangat menganjurkan terjadinya transaksi jual beli
antara uang dihadapkan dengan barang dan jasa. Contoh hadis yang secara
gamblang dijumpai pada Hadis Shaih Muslim, sebagai berikut :
حَدِيثُ
أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ بِلَالٌ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ
هَذَا فَقَالَ بِلَالٌ تَمْرٌ كَانَ عِنْدَنَا رَدِيءٌ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ
بِصَاعٍ لِمَطْعَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا لَا تَفْعَلْ وَلَكِنْ إِذَا
أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ اشْتَرِ بِهِ *
Dari Abu
Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah saw
membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari mana
ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang
dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda Rasulullah
SAW, lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila
engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang
bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.”
Hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu
Hurairah, Abu Said Al Kudri menegaskan anjuran jual beli dari pada barter :
“Ternyata Rasulullah SAW, tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan system
barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Nampaknya beliau
melarang bentuk pertukaran seperti itu karena ada unsur riba didalamnya”.
Peranan uang sebagai alat tukar dan alat ukur juga tampak dari hadits Nabi
Saw, yaitu ketika beliau mewajibkan zakat atas aset moneter (emas dan perak).
secara tidak langsung Nabi mengatakan, bahwa uang sebagai faktor produksi
mempunyai potensi untuk berkembang melalui usaha-usaha produktif yang riil. Apabila uang diterima sebagai pilar produksi, maka
ketentuan pengambilan manfa’at keuntungan (hasil), tidak boleh ditentukan di
awal tanpa melihat hasil realisasi produksi tersebut. Penetapan porsi
keuntungan di awal adalah riba dan bersifat tidak adil. Karena itu Islam
menkonsepsikan bagi hasil dalam dunia
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nation,
seorang Islam bernama al-Ghazali (1111 M), telah membahas fungsi uang dalam
perekonomian. Secara
panjang lebar, ia membahas fungsi uang dalam bab “syukur” pada kitab Ihya
Ulumuddin. Dalam Bab itu ia mengatakan, “diantara nikmat Allah ialah berlakunya dinar dan dirham. Dengan
dinar dan dirham itu, kehidupan dunia bisa diatur, padahal keduanya tak lebih
dari logam, yakni barang yang pada asalnya tidak berguna apa-apa. Tetapi semua
orang tertarik pada kedua mata uang itu, sebab setiap orang membutuhkan
bermacam-macam barang untuk makan, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan lainnya”. Uraian-uraian Al-Gahzali berikutnya, tentang
konsep-konsep ekonomi Islam, sungguh menakjubkan. Tapi sayang, banyak di antara
umat Islam yang mengutip dan menelaah aspek tasawufnya, tanpa mengkaji secara
utuh isi kitab itu, sehingga wacana ekonomi Islam terabaikan.
II. PERMASALAHAN
Menurut
A.Ridwan Amin “ sekitar 90 persen lebih masyarakat dunia tidak mengerti tentang
sistem moneter dan keuangan, ketidaktahuan ini kemudian dimanfaatkan secara
licik oleh segelintir orang yang sangat ahli di bidang tersebut untuk meraup
keuntungan sebesar besarnya. Salah satu contohnya adalah penggunaan “ Fiat
Money ” atau uang yang diciptakan tanpa didukung dengan logam mulia sedikitpun.
Persoalan ekonomi akibat tidak stabilnya nilai tukar yang
bergerak fluktuatif telah berlangsung sejak sistem moneter yang diterapkan di
dunia ini adalah fiat currency, dimana mata uang kertas yang tidak
ditopang emas dijadikan sebagai alat tukarnya. Dalam makalah ini akan membahas tentang apa “Fiat Money” , bahaya
penggunaan “Fiat Money” dan berbagai solusi menghadapinya dalam ruang lingkup
ekonomi islam (syariah).
III. PEMBAHASAN
A. SEJARAH “FIAT MONEY”
Sampai saat ini, semua orang menganggap uang kertas adalah
benar-benar bernilai bahkan orang dapat saling bertikai dan bunuh-bunuhan untuk
memperoleh uang kertas itu. Tahukan kita bahwa sebenanya uang kertas itu
merupakan surat hutang yang dibuat seolah-olah uang sebenarnya. Bila kita ingin
mengetahui segala sesuatu tentang uang kertas (fiat money), maka kita sebaiknya
berangkat dari asal mula penggunaan dan peruntukannya. Beberapa sumber
menyatakan bahwa yang pertama mencetak uang kertas adalah kaisar Wu Ti dari
Cina yang menggunakan uang kertas pada abad kedua sebelum masehi. Setelah itu
penggunaan uang kertas makin meluas hingga ke wilayah eropa dan kertas ini
digunakan sebagai bukti kepemilikan logam berharga seperti emas dan perak.
Sebuah milestone
menanjaknya popularitas uang kertas ini dimulai oleh para ksatria templar
(Knight Templar) pada masa sesudah perang salib. Mereka juga mendirikan sebuah
lembaga keuangan bernama Usury (riba). Setelah Jerusalem jatuh ke tangan
pasukan salib pada 1099, banyak peziarah dari eropa yang ingin mengunjungi kota
suci ini. Para peziarah biasanya membawa emas sebagai alat tukar (uang) karena
memang emas dan perak lah yang menjadi uang resmi pada masa itu. Pada
kenyataannya para peziarah ini sering dirampok di tengah perjalanan oleh para perompak
yang mengintai jalur eropa-jerusalem. Melihat fenomena ini, Ksatria Templar
yang memang bersifat serakah dan tamak menemukan jalan keluar dari masalah ini
dengan cara membentuk lembaga keuangan yang melayani simpan pinjam pertama di
dunia bernama usury yang arti harafiahnya adalah riba/bunga.
Lembaga usury ini memberikan solusi keamanan bagi emas para
peziarah dengan cara memberikan secarik kertas dengan sandi tertentu sebagai
bukti bahwa peziarah tersebut memiliki emas dalam jumlah tertentu. Emas milik
peziarah harus disimpan atau dititipkan kepada lembaga ini dan dapat digunakan
untuk pengeluaran selama perjalanan lalu bisa kembali ditukar kembali dengan
emas sesampainya di jerusalem atau sekembalinya di eropa, setelah dikurangi
dengan biaya administrasi tentunya. Bisa dilihat bahwa sistem usury yang
didirikan oleh templar ini sangat mirip dengan sistem perbankan konvensional
dewasa ini, oleh karena itu usury disebut sebagai awal sistem perbankan yang
digunakan saat ini.
Pada masa itu kekuasaan templar sangat besar, mereka hanya
bertanggung jawab langsung kepada paus sebagai penjaga keamanan rute peziarah
dari eropa menuju jerusalem. Karena wewenang yang diberikan ini, Templar bisa
melakukan pemaksaan terhadap peziarah untuk menitipkan emasnya pada mereka. Kertas-kertas
jaminan memiliki emas yang diterbitkan templar ini merupakan surat hutang atau
promis yang kedepannya berevolusi menjadi uang kertas (paper money atau Fiat money ).
Setelah perjalanan proses yang cukup lama, surat-surat sandi
ini semakin banyak beredar dan semakin banyak pula orang yang menggunakannya
karena lebih praktis, mungkin bisa disamakan dengan kartu debet atau kartu
kredit pada masa kini dimana orang tidak perlu membawa uang yang sebenarnya,
cukup surat hutang yang terus menerus berpindah tangan. Jumlah pengguna surat
hutang ini semakin banyak juga disebabkan orang-orang telah percaya bahwa
mereka dapat mengambil kembali emasnya bila suatu saat dibutuhkan. Akhirnya
surat hutang ini pun berubah menjadi uang kertas yang mulai dianggap sama
nilainya dengan emas, padahal uang kertas sama sekali tidak bernilai secara
intrinsik. Perhatikan bahwa sistem ini sama persis dengan pengguna kartu debet
dan nasabah suatu bank yang yakin uangnya dapat ditarik kembali bila suatu saat
dibutuhkan, bedanya adalah dulu uang yang disimpan adalah emas yang merupakan
uang sejati sedangkan sekarang uang yang disimpan adalah “surat hutang”,
artinya terjadi turunan/derivasi sebanyak dua kali pada uang di masa kini (dulu
surat hutang dijamin oleh emas, sekarang kartu debet dijamin oleh surat
hutang).
Karena orang semakin percaya dengan “uang” ini, maka mereka
makin jarang mengambil simpanan emasnya. Hingga keadaan ini, uang kertas masih
tidak menimbulkan keburukan karena hanya digunakan sebagai pengganti uang yang
sebenarnya. Bencana terjadi ketika para pewaris sistem perbankan templar ini
mulai mencetak “uang” lebih banyak lagi melebihi cadangan emas yang dititipkan
kepada mereka karena yakin bahwa para pemilik emas tidak akan menarik kembali
emasnya secara tiba-tiba dan serentak, dengan kata lain mereka mencetak nota
kosong karena memang tidak didukung oleh emas, prinsip sejenis ini disebut
fractional reserve.
Bencana
apakah yang ditimbulkan oleh kegiatan mencetak uang melebihi cadangan emas
ini?. Ketika uang dicetak melebihi jumlah cadangan emas, maka jumlah uang yang
beredar di masyarakat akan menjadi besar sehingga menimbulkan inflasi yang
menurunkan daya beli masyarakat, terlebih lagi bila jumlah uang yang dicetak
jauh melebihi pertumbuhan sektor riil, ini akan berakibat pada hiperinflasi
yang pernah terjadi di jerman pada tahun 1922. Bila uang yang dicetak
disesuaikan dengan pertumbuhan sektor riil, maka hal ini akan mendukung
perekonomian suatu negara, tapi kita selalu mendengar berita bahwa kita mengalami
inflasi setiap bulan dan tahun, artinya bank sentral yang berhak mencetak uang
telah mencetak uang secara berlebihan yang memiskinkan seluruh masyarakat.
Lebih buruknya lagi, dengan sistem perbankan yang menggunakan
uang kertas, maka pihak yang memiliki hak untuk mencetak uang dapat menciptakan
uang tanpa perlu modal apapun (create money from nothing). Cukup bermodalkan
kertas saja dapat membeli emas, minyak dan sumberdaya alam lainnya. Ini semua
merupakan ilusi yang sangat berbahaya. Bahkan Marcopolo, seorang voyager
(pengelana) dunia pun menyatakan kecemasannya terhadap uang kertas ketika
berkunjung ke Cina yang pada saat itu telah menggunakan uang kertas. catatan
Marcopolo mengatakan alat itu (uang kertas) memungkinkan penguasa untuk
mendapatkan semua yang berharga tanpa modal apa-apa.
Sistem penggunaan uang kertas (Fiat money) inilah yang
mengakibatkan terjadinya jurang pemisah antara sekelompok kecil yang semakin
kaya dengan kebanyakan manusia yang semakin miskin bergerak melebar dari hari
ke hari. Setelah kita tahu bagaimana keburukan sejati yang dimiliki oleh Fiat
money, maka kita bertanya adakah suatu uang yang adil, dimana tidak ada suatu
pihak yang sangat diuntungkan sementara yang lain sangat dirugikan? jawabnya
adalah “EMAS”
B.
PERMASALAHAN YANG DITIMBULKAN “FIAT MONEY”
Persoalan ekonomi akibat tidak stabilnya nilai
tukar yang bergerak fluktuatif telah berlangsung sejak sistem moneter yang
diterapkan di dunia ini adalah fiat currency, dimana mata uang kertas
yang tidak ditopang emas dijadikan sebagai alat tukarnya. Pada era sebelumnya
hingga hancurnya Bretton Woods Agreement, peredaran mata uang masih
dikaitkan dengan emas. Pada perjanjian tersebut ditetapkan bahwa mata uang
suatu negara harus ditopang oleh cadangan dolar, sementara dollar sendiri yang
diedarkan oleh AS juga ditopang oleh emas. Dengan demikian pertumbuhan supply
dollar akan ditentukan seberapa besar cadangan emas AS.
Namun sistem tersebut dibubarkan oleh AS. Pasalnya
AS terus mencetak dollar untuk meningkatkan belanja fiskalnya diantaranya untuk
membiayai perang Vietnam. Defisit anggarannya makin membesar sementara rasio
antara supply dollar dan cadangan emasnya terus merosot. Pada periode
tersebut stok emas AS merosot dari 20 milar dollar menjadi hanya 9 miliar
Dollar. AS kemudian mengalami defisit cadangan emas.
Negara-negara lain khususnya negara-negara Eropa
Barat dan Jepang sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut
diwajibkan menjaga cadangan dollarnya dan menggunakannya sebagai dasar untuk
meningkatkan supply mata uang dan kredit di dalam negeri. Padahal
semakin hari nilai dollar terus merosot (undervalue) sementara nilai
mata uang mereka terus menguat (overvalue). Keadaan ini merugikan mereka
sebab nilai ekspor mereka menjadi lebih mahal sehingga pertumbuhan ekonomi
mereka merosot.
Akibat beban tersebut negara-negara Eropa secara
massif kemudian menukarkan cadangan Dollar mereka dengan emas. AS kemudian
tidak berdaya mempertahankan paritas nilai dollar pada emas, sebesar 35 dollar
per ons emas. Pada awal 1971, kewajiban dollar telah mencapai lebih dari 70
miliar dollar sementara cadangan emasnya hanya 12 miliar Dollar. Puncaknya pada
tanggal 15 Agustus 1971, secara unilateral dan tanpa berkonsultasi dengan
negara-negara aliansi dan IMF, AS menghentikan berlakunya Bretton Woods
Agreement yang telah digagas sejak tahun 1942. Sejak saat itulah
emas tidak lagi menjadi backing mata uang dunia. Era tersebut
selanjutkan dikenal dengan era mata uang kertas (fiat money) dimana
dollar sebagai panglimanya.
Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhany, secara politis
langkah yang dilakukan oleh AS untuk menghentikan pengkaitan Dollar dengan emas
adalah didorong oleh keinginan AS untuk memposisikan dollar sebagai standar
moneter internasional hingga menguasai pasar moneter internasional. Oleh karena
itu standar emas kemudian dianggap tidak lagi dapat dipergunakan di dunia.
Standar moneter Bretton Woods kemudian hancur dan kurs pertukaran mata
uang terus berfluktuasi. Dari sinilah muncul berbagai kesukaran dalam mobilitas
barang, uang dan orang.
Sejak saat itu mata uang dunia menjadi tidak
stabil. Mata uang AS dan seluruh dunia terus bergolak. Fluktuasi tingkat nilai
tukar menjadi sulit untuk diprediksi bahkan kadangkala bergerak secara ekstrim.
Belum lagi inflasi terus membumbung akibat percetakan mata uang kian tak
terkendali. Suatu keadaan yang sangat meresahkan para pelaku ekonomi. Inilah
diantara konsekuensi yang ditimbulkan oleh mata uang fiat.
Secara sederhana kemunculan uang kertas mulanya
adalah sebagai representasi dari komoditas khsususnya emas. Hal ini dilakukan
akibat sulitnya untuk melakukan transaksi dengan membawa emas khususnya pada
barang-barang yang bernilai tinggi. Orang akan menerima uang representasi
tersebut sebab ada jaminan dari pihak yang mengeluarkan kertas tersebut dalam
hal ini pemerintah bahwa kertas tersebut dapat ditukar emas senilai dengan yang
dinyatakan dalam kertas tersebut.
Pemegangnya
dapat menukar uang tersebut kapanpun dan berapapun ia mau. Namun perlahan-lahan negara justru mengeluarkan
kertas jauh lebih banyak dari emas yang mereka miliki. Akibatnya kertas-kertas
tersebut tak lagi cukup untuk dikonversi dengan emas. Akhirnya masyarakat
dipaksa untuk menggunakan kertas tersebut sebagai alat transaksi. Dalam sejarah moneter dunia dijumpai bahwa penggunaan mata uang kertas yang
tidak ditopang (backed) oleh komoditas seperti emas menyebabkan sejumlah
masalah yang sangat serius dalam perekonomian. Diantara masalah tersebut
adalah:
Pertama, mata uang kertas menyebabkan inflasi yang tinggi. Akibatnya nilai uang
terus merosot. Sebagai contoh,
pada awal abad ke-9, Cina mengedarkan uang kertas—sekaligus sebagai negara
pertama yang menggunakan uang kertas—untuk mengganti tembaga yang saat itu mengalami
kelangkaan. Cina telah memproduksi mata uang kertas yang sama sekali tidak
ditopang oleh emas atau komoditas lainnya. Namun alih-alih membenahi
perekonomiannya, pada tahun 1051 justru Cina terjerembab pada tingkat inflasi
yang sangat tinggi akibat produksi uang kertas yang terus berlangsung. Hal yang sama juga terjadi di Inggris tahun 1914 ketika Bank
of England menerbitkan uang kertas yang sama sekali tidak ditopang oleh
emas. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membiayai angkatan perang pemerintah.
Pertumbuhan uang (money base) Inggris pada masa perang tersebut naik
hingga 41,2 persen. Dampaknya mudah ditebak. Inflasi membumbung hingga mencapai
13,5 persen. Kondisi tersebut memaksa Inggris dan sejumlah negara lainnya
kembali pada standar emas (gold exchange rate). Demikian pula pasca berkecamuknya Perang Dunia I,
dunia modern menyaksikan bahaya dari fiat money yang dikeluarkan tanpa
ditopang oleh emas. Beberapa saat sebelum perang, Bank Sentral Jerman membuat
keputusan untuk menghentikan konvertibilitas mark dengan emas. Uang kertas mark
selanjutnya dapat diterbitkan tanpa batas untuk membiayai angkatan perang
Jerman. Akibat emas tidak dijadikan jangkar (anchor) membuat nilai mata
uang negara tersebut paling rendah di dunia. Pada akhir tahun 1923 harga di
negara tersebut dapat melonjak dua kali lipat hanya dalam hitungan jam. Harga
sepotong roti misalnya bisa mencapai 200 miliar mark. Bahkan ibu-ibu rumah
tangga menjadikan uang kertas mark sebagai kayu bakar karena nilainya jauh
lebih rendah dari kayu bakar itu sendiri!
Indonesia pun pernah merasakan dampak buruk dari penggunaan mata uang
kertas. Pada tahun 1965 akibat tingginya defisit anggaran pemerintah Indonesia
dan hyperinflasi yang mencapai 635,3 %, pemerintah melalui bank
Indonesia melakukan pemotongan nilai uang (sanering) dari Rp. 1.000,-
menjadi Rp.1,-. Kebijakan ini didasarkan pada Penetapan Presiden No.27 tahun
1965 yang diberlakukan pada tanggal 13 Desember 1965. Bisa dibayangkan kekayaan
orang saat itu terpangkas hampir 1.000 kali lipat (Singgaling dkk, 2004). Tak heran jika Robert Mundell (1997) seorang ekonom
yang pernah meraih Nobel, mengatakan bahwa terus membanjirnya uang kertas tanpa
didukung oleh likuiditas akan memicu terjadinya resesi ekonomi. Alasannya
hingga saat ini Bank Sentral AS terus meningkatkan
pertumbuhan supply dollar. Dengan membanjirnya uang kertas dan kredit,
maka harga barang dan jasa (inflasi) akan semakin tinggi dan sangat mungkin
suatu saat berubah menjadi hyperinflasi.
Kedua, legitimasi mata uang kertas
sangat rapuh sebab ia sama sekali tidak disandarkan pada komoditas yang
bernilai seperti emas dan perak. Ia hanya ditopang oleh undang-undang yang
dibuat pemerintahan suatu negara. Jika keadaan politik dan ekonomi negara tersebut
tidak stabil maka tingkat kepercayaan terhadap mata uangnya juga akan menurun.
Para pemilik uang akan beramai-ramai beralih ke mata uang lain atau komoditas
yang dianggap bernilai sehingga nilai uang tersebut terpuruk. Sebagai contoh ketika terjadi kegoncangan pasar modal (market crash)
yang mengakibatkan depresi pada tahun 1929, orang-orang di seluruh dunia mulai
menampakkan ketidakpercayaannya terhadap uang kertas sehingga mereka
berlomba-lomba menimbun (hoarding) emas dan meninggalkan mata uang
mereka. Di AS, nilai dolar makin kritis sehingga Presiden Rosevelt tidak
memiliki pilihan kecuali menghentikan produksi mata uang emas dan memenjarakan
orang yang menyimpan emas dan mengenakan denda dua kali dari emas yang
disimpan.
Ketiga, uang kertas telah menjadi sumber
pemasukan peerintah yang paling mudah. Dengan biaya produksi yang sangat rendah
dibanding nilai nominal yang dikandungnya, mereka dengan mudah mencetak
uang-uang kertas (di sejumlah negara dilakukan oleh Bank sentral). Uang
tersebut kemudian ‘dipaksakan’ kepada rakyat untuk diterima sebagai alat tukar.
Dengan menukarkan menukarkan uang tersebut dengan barang dan jasa yang
diproduksi oleh rakyatnya, pemerintah dapat menikmati hasil keringat rakyatnya
dengan mudah. Dengan kata lain mata uang kertas telah menjadi alat pemerasan
negara terhadap rakyatnya. Rakyat kemudian menjadi korban dengan inflasi yang
tinggi. Penerimaan pemerintah Argentina misalnya dari pencetakan uang baru pada
tahun 1985-1990, diperkirakan mencapai 54 persen dari total pendapatannya. Bahkan pada tahun 1987 mencapai 86%. Akibatnya nilai peso terus melemah dan
menjadi tidak stabil. Rakyat Argentina kemudian enggan menggunakan peso dan
lebih memilih menggunakan dollar AS yang nilainya dianggap lebih stabil
(Abdullah, 2006).
Hal yang sama juga dirasakan oleh rakyat Afganistan ketika berada di bawah
rezim Rabbani. Pada masa sebelumnya nilai tukar resmi mata uang Afganistan
adalah 50 afgani per dollar AS dengan pecahan terbesar 1.000 afgani. Pada musim panas 1991 nilai tukar tersebut telah mencapai 1.000 afgani per
dollar. Pemerintah kemudian mengeluarkan pecahan uang baru yang bernominasi
5.000 afgani dan kemudian 10.000 afgani. Hasilnya setiap kali mata uang
tersebut diterbitkan maka nilai mata uang tersebut terus melorot. Pada bulan
September 1996 ketika Kabul jauh di tangan pasukan Taliban, mata uang afgani
diperdagangkan dengan nilai 17.800 per dollar. Bahkan di pusat pemerintahan
Mazari Sharif—daerah yang dikuasi oleh Abdul Rasyid Dostum yang berpisah dengan
Rabbani pada tahun 1994—nilai afgani mencapai 25.600 per dollar. Rakyat Pakistan juga menjadi korban dari penggunaan fiat money ini. Pada tahun 1991-1996 pertumbuhan jumlah uang beredar di negara tersebut
mencapai 10,6 persen. Selama periode tersebut pemerintah Pakistan diperkirakan
memperoleh penerimaan sebesar 97,173 miliar rupee hanya dari pencetakan uang
kertas dan pecahan logam (Abdullah, 2006).
Keempat, penggunaan mata uang kertas
menciptakan ketidakadilan dalam kegiatan ekonomi. Hal ini dirasakan setelah berakhirnya Bretton
Woods, dimana negara-negara kuat yang memiliki mata uang yang dperdagangkan
secara internasional dengan mudah memperoleh kekayaan negara-negara lain hanya
dengan mencetak uang. Dengan mencetak lembaran-lembaran kertas dengan ukuran
dan gambar dan tanda tertentu, mereka daapt mengambil keutungan berlipat-lipat
dengan membeli apa saja yang nilai barangnya (intrinsic value) jauh
lebih tinggi dari uang biaya produksi uang mereka. Mekanisme ini dikenal dengan
istilah seignorage uang fiat. Seignorage berarti keuntungan yang
diperoleh dalam memproduksi uang akibat perbedaan antara nilai nominal (face-value)
suatu mata uang dengan biaya memproduksi uang tersebut (intrinsic value).
Sebagai contoh biaya untuk memproduksi uang kertas 100 dollar adalah 20 sen
maka seignorage-nya sebesar 99.80 dollar. Dengan kata lain setiap kali
AS mencetak satu lembar uang 100 dollar, maka ia akan mendapatkan keuntungan
99,80 dollar.
Federal Reserve, bank sentral AS telah menikmati seignorage yang sangat besar
dengan mengeluarkan dollar sejak mata uang tersebut menjadi cadangan mata uang
internasional yang paling dominan. Dollar memiliki daya beli yang kuat di luar
AS sehingga dengan leluasa AS memanfaatkan kesempatan ini untuk terus mencetak
Dollar. Dengan kemampuan mencetak dollar pemerintah AS dapat membeli dari seluruh
dunia apapun yang mereka inginkan. Sebagai mata uang
internasional dollar dapat terus dicetak oleh AS berapapun yang ia kehendaki
untuk membiayai kebijakan fiskalnya termasuk membiayai politik luar negerinya.
Untuk Perak Irak misalnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Joseph E
Stiglitz di dalam bukunya The Three
Trillion Dollar War nilainya lebih dari 3 triliun dollar. Barang dan jasa yang diproduksi oleh negara-negara lain terus mengalir ke
negara tersebut jauh diatas nilai ekspornya. Akibatnya defisit neraca
perdagangan AS bulan Agustus 2008 misalnya telah mencapai lebih dari 66 miliar
dollar. Pada bulan Agustus 2008 defisit pemerintah federal telah mencapai 706,9
miliar dollar. Defisit tersebut kemudian dibayar dengan utang dalam nominasi
dollar. Kini utangnya telah mencapai 10,024 tiliun dollar.
Disisi lain negara-negara lain khususnya negara-negara berkembang justru
mengalami kerugian yang luar biasa akibat praktek seignorage ini. Salah
satu contoh yang paling nyata adalah pembelian minyak oleh AS sebesar 12 juta
barrel per hari untuk menutupi defisit produksinya. Sebagian besar minyak
tersebut dibeli dari Arab Saudi dengan hanya mencetak Dollar baru yang kemudian
ditransfer ke rekening pemilik perusahaan minyak Arab Saudi. Meski Arab Saudi
dapat membeli barang lain dengan lembaran-lembaran dollar tersebut namun pada
faktanya tetap saja biaya yang dikeluarkan untuk melakukan investasi dan
penambangan minyak jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pembuatan Dollar
AS.
Kelima, mata uang kertas telah mendorong gelembung ekonomi yang dapat berujung
pada ledakan ekonomi. Setiap tahunnya AS harus menjual sekitar 1,5 miliar dollar surat utang
untuk menutupi defisit anggarannya. Bank-bank
sentral asing, korporasi dan individu selanjutnya membeli instrumen utang dari
The Fed, Bank sentral AS. Sementara sekuritas berharga (treasury security)
tersebut diciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Tidak berlebihan sejumlah
kalangan menyatakan cepat atau lambat dollar pasti mengalami kebangkrutan. Bahaya
kerapuhan dollar sebagai mata uang kertas paling kuat saat ini juga telah
diwanti-wanti oleh Samuelson sebagaimana yang ditulis dalam The Washington
Post (17/11/004). Menurutnya pada tahun 2004 saja, investor swasta telah
memborong saham dan obligasi AS. Secara keseluruhan investor asing telah
memegang 13 persen dari total saham AS, 24 persen obligasi korporasi dan 43
persen surat-surat berharga pemerintah AS (treassury securities). Sturuktur
kepemilikan aset tersebut sangat berbahaya.
Alasannya, saat ini dunia telah menerima dollar
lebih banyak daripada yang dia inginkan. Jika terdapat momentum
krusial sewaktu-waktu saham-saham dan obligasi tersebut akan dilepas oleh
pemiliknya dan resesi global yang akut akan terjadi. Orang-orang beramai ramai
menjual dollar dan beralih ke mata uang kuat lainnya seperti Euro dan Yen dan
nilai dollar dipastikan turun signifikan. Anjloknya dollar berarti nilai dari
saham dan obiligasi yang dipegang oleh investor asing tersebut juga akan terjun
bebas. Mereka berlomba menjual aset-aset yang mereka memiliki. Pada saat itulah pasar-pasar saham akan anjlok secara tajam dan dollar AS
akan kehilangan nilainya. Bahaya ini kian mengancam tatkala dunia telah
dibanjiri dolar. Di pasar-pasar uang saja, terdapat gelembung-gelembung dollar
AS yang berjumlah 80 triliun Dollar AS pertahun. Jumlah ini 20 kali lipat
melebihi nilai perdagangan dunia, yang jumlahnya sekitar 4 triliun Dollar AS
pertahun. Artinya, gelembung itu bisa membeli segala yang diperdagangkan
sebanyak 20 kali lipat dari biasanya. Gelembung semakin lama semakin membesar
dan secara pasti gelembung itu suatu saat akan meledak yang menyebabkan
keruntuhan ekonomi global yang jauh lebih buruk dari depresi ekonomi tahun
1929.
Keenam, Akibat nilainya yang tidak stabil
mata uang kertas khususnya dengan rezim bebas mengambang telah menjadi sarana
spekulasi yang ganas. Uang tidak lagi difungsikan semata untuk menjadi alat
tukar, alat untuk menyimpan dan menghitung kekayaan riil, namun justru lebih
banyak digunakan untuk kegiatan spekulasi. Krisis moneter yang menimpa negara-negara Asia, Argentina dan Rusia pada
tahun 1998 diakibatkan oleh sistem nilai tukar yang tidak stabil.
Episentrum krisis yang bermula di Thailand tersebut dimulai dari derasnya
uang spekulatif yang panas (hot money) yang mengalir deras ke negara
tersebut untuk membeli saham-saham properti. Akibatnya nilainya terus
menggelembung (bubble) jauh melebihi nilai riilnya. Ketika terjadi
goncongan modal spekulatif yang liar tersebut berbalik arah dan mengakibatkan
nilai tukar bath jatuh. Efeknya kemudian menjalar
kemana-mana termasuk ke Indonesia. Rupiah bahkan sempat menyentuh 16 ribu per
dolar. Para spekulan
sangat diuntungkan dengan adanya pergerakan (fluktuasi) nilai tukar satu mata
uang terhadap mata uang lainnya. Sementara pemerintah (dalam hal ini bank
sentral) dipaksa untuk terus menjaga nilai tukar mata uangnya. Diantaranya
melalui intervensi dengan ikut menjual dan membeli devisa, meski devisa itu
kadang diperoleh diperoleh dari utang LN. Sebagai contoh pada akhir 1998 IMF
memberikan utang kepada pemerintah Brazil senilai 50 miliar dollar untuk
menjaga nilai tukarnya yang mengalami overvalued. Namun sayang
intervensi pemerintah tersebut sia-sia, sementara uang utangan tadi seakan
hilang ditelan angin. Uang tersebut sebagian besar mengalir ke kantong-kantong
para spekulan. Beberapa spekulan merugi namun secara umum para spekulanlah yang
memperoleh seluruh uang yang dikucurkan pemerintah tersebut.
Akan lain ceritanya jika dana tersebut digunakan untuk membiaya sektor riil
yang dapat menggerakkan perekonomian Brazil.
Adanya peluang spekulasi di pasar uang plus pasar modal, justu membuat uang
yang diperoleh dari sektor riil (main street) mengalir deras sektor non
riil tersebut (wall street). Dana-dana hasil penjualan minyak Timur
Tengah misalnya yang lazim dikenal dengan Sovereign Wealth Fund (SWF)
kini lebih banyak diinvestasikan di portofolio (saham, obligasi, atau
surat-surat berharga lainnya) baik yang dterbitkan pemerintah ataupun swasta. Abu
Dhaby Investment Authority (ADIA) misalnya, milik pemerintah Uni Emirat
Arab, kini memiliki SWF sebesar US$ 1,32 triliun. Dana-dana tersebut kini
digunakan membeli sejumlah saham perusahaan kelas dunia baik yang tengah yang
tengah kolaps maupun yang sedang booming termasuk membeli saham klub
sepak bola Inggris Manchaster City. Dana-dana tersebut tentu akan sangat berguna bagi
jutaan manusia jika diinvestasikan pada sektor riil yang produktif seperti
pembangunan infrastruktur, bantuan kemanusiaan kepada orang-orang miskin yang
jumlah jutaan di negeri-negeri Islam.
C. MENGATASI
“FIAT MONEY”
Dinar
adalah koin emas murni seberat 4,25 gram; dirham adalah koin perak seberat 3
gram. Keduanya patut dijadikan mata uang alternatif pengganti fiat money.
Dinar-dirham bernilai ril karena terbuat dari logam mulia (commodity currency).
Ini berbeda dengan uang kertas yang hakikatnya tak lebih dari kertas cetakan
belaka, nihil karena tak mewakili nilai emas atau perak. Potonglah sekeping
dinar emas menjadi bagian-bagian kecil, seluruh bagiannya tetap berharga namun
guntinglah selembar uang kertas maka ia sama sekali tak berguna. Disebabkan
kandungannya, dinar dan dirham lebih stabil nilainya ketimbang fiat money.
Sejarah menunjukkan, dinar tak mengenal inflasi sementara fiat money adalah
biangnya inflasi. Tidak heran bila banyak kalangan menyebut dinar-dirham
sebagai mata uang surga (the heavens currency). Maksudnya, bukan mata uang yang
digunakan di surga melainkan sebagai penjaga keadilan yang menjadi salah satu ciri
penghuni surga (hal. 107).
Dinar-dirham hanya sekadar nama. Esensinya, keduanya adalah logam berharga: emas dan perak. Sejarah menunjukkan, ribuan tahun peradaban manusia menempatkan emas dan perak sebagai alat moneter. Koin emas pertama kali digunakan 500 tahun sebelum masehi tatkala Raja Croesus berkuasa hingga ke era Julius Caesar dan Kaisar Nero. Dinar sendiri dikenal sebagai mata uang Byzantium dan dirham dari Persia. Belakangan, Nabi Muhammad SAW mengakuinya sebagai mata uang. Koin emas dan perak terakhir digunakan sebagai mata uang pada tahun 1924 seiring jatuhnya Kekhalifahan Osmaniah di Turki.
Pamor dinar yang meredup selama lebih setengah abad, kembali dihidupkan oleh Syeikh Dr Abdalqadir as-Sufi. Pertengahan Agustus 1991, tokoh sufi di Eropa itu mengeluarkan fatwa haram penggunaan uang kertas sebagai alat tukar. Dinar-dirham dicetak kembali oleh Islamic Mint Spanyol tahun 1992 di bawah kewenangan World Islamic Trade Organization (WITO).
IV. PENUTUP
Inilah
beberapa bahaya mata uang kertas yang tidak di back-up oleh
emas. Gelembung uang yang terus tumbuh tanpa batas dan membuat ekonomi global
menjadi tidak stabil. Krisis finansial saat ini dan sejumlah krisis sebelumnya
semakin memperjelas bahwa sistem moneter saat ini yang menggunakan mata uang
kertas (fiat money) sangat rapuh dan tidak layak
diadopsi bagi mereka yang masih berfikir dengan jernih. Dunia membutuhkan
sistem moneter yang lebih adil dan stabil. Dan mata uang emas yang jejak
rekamnya telah teruji di pentas moneter internasional selama ratusan tahun merupakan
standar moneter paling layak diperhitungkan.
Maka tinggalkanlah uang kertas.
DAFTAR PUSTAKA
·
Chapra,Umer M. 1997. Alquran : Menuju Sistem
Moneter Yang Adil. Dhana Bakti Prima Yasa : Yogjakarta
·
Kamel, Ahamed. 2002. The Islamic Gold Dinar.
Pelanduk Publication : Selangor
·
Riawan,A. 2007. Satanic Finance. Celestial
Publishing
·
Sami’, Abdul. 2006. Pilar-Pilar Ekonomi Islam.
Pustaka Pelajar : Yogjakarta
·
Sarkaniputra, Murasa.1999. Pengantar Ekonomi
Islam. IAIN Syarif Hidayatullah : Jakarta