Minggu, 23 September 2012

Fiat Money membuat umat sengsara


MAKALAH  EKONOMI ISLAM
“FIAT MONEY”
MEMBUAT SENGSARA UMAT





 




                                       Nama     : M. As’ad Firdaus
                                       Nim       :  F0111044
                                       Jurusan  :  Ekonomi Pembangunan


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME. Bahwa penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah Ekonomi Islam yang berjudul “ Fiat Money Menyengsarakan Umat ” dengan baik.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan dosen dan teman-teman, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
  1. Bapak Sumardi selaku dosen bidang studi Ekonomi Islam yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
  2. Teman-teman  yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
Akhirnya penulis berharap semoga Tuhan YME memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.


                                                                                                 M. As’Ad Firdaus



I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
            Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
            Uang yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya. Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem'barter'yaitu barang yang ditukar dengan barang. Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted) benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.
            Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama. Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam. Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul suatu anggapan kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas.
Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.

B. FUNGSI UANG MENURUT SYARIAT ISLAM
Menurut ekonomi Islam, uang di pandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditas. Selain sebagai alat tukar, uang juga berfungsi sebagai pengukur harga (standar nilai), hal ini sesuai denbgan definsi uang yang dirumuskan Taqyuddin An-Nabhani, dalam buku An-Nizham Al-Iqtishadi Al-Islami. Menurutnya uang adalah standar nilai pada barang dan jasa. Oleh karena itu, dalam ekonomi Islam, uang di defenisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur harga setiap barang dan jasa.
Diterimanya peranan uang ini, secara luas, dengan maksud untuk mempermudah proses transaksi, sebagai alat ukur dan menghapuskan ketidakadilan dan kezaliman dalam ekonomi tukar-menukar. Karena ketidakadilan dalam ekonomi barter, digolongkan sebagai riba fadhal. Barter adalah sebuah metode pertukaran yang tidak praktis dan umumnya menunjukkaan banyak kepicikan dalam mekanisme pasar. Jadi, dibutuhkan sebuah sistem penukaran tepat guna yang praktis, yakni uang. Kemudian, karena majunya peradaban, uang dikembangkan sebagai ukuran nilai dan alat tukar. Nabi Muhammad saw menyetujui penggunaan uang sebagai alat tukar. Beliau tidak menganjurkan barter, karena ada beberapa praktek yang membawa kepada ketidakadilan dan penindasan. Barter hanya diterima dalam kasus terbatas. Nabi menasehatkan agar menjual sebuah produk dengan uang, dan membeli produk yang lain dengan harganya dengan demikian, ajaran Islam sangat mendukung tungsi uang sebagai media petukaran (medium of exchange) karena banyak hadis-hadis Rasulullah yang tidak menganjurkan barter tetapi sangat menganjurkan terjadinya transaksi jual beli antara uang dihadapkan dengan barang dan jasa. Contoh hadis yang secara gamblang dijumpai pada Hadis Shaih Muslim, sebagai berikut :
حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ بِلَالٌ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا فَقَالَ بِلَالٌ تَمْرٌ كَانَ عِنْدَنَا رَدِيءٌ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِمَطْعَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا لَا تَفْعَلْ وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ اشْتَرِ بِهِ *
Dari Abu Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda Rasulullah SAW, lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.”
Hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, Abu Said Al Kudri menegaskan anjuran jual beli dari pada barter : “Ternyata Rasulullah SAW, tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan system barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Nampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti itu karena ada unsur riba didalamnya”.
Peranan uang sebagai alat tukar dan alat ukur juga tampak dari hadits Nabi Saw, yaitu ketika beliau mewajibkan zakat atas aset moneter (emas dan perak). secara tidak langsung Nabi mengatakan, bahwa uang sebagai faktor produksi mempunyai potensi untuk berkembang melalui usaha-usaha produktif yang riil. Apabila uang diterima sebagai pilar produksi, maka ketentuan pengambilan manfa’at keuntungan (hasil), tidak boleh ditentukan di awal tanpa melihat hasil realisasi produksi tersebut. Penetapan porsi keuntungan di awal adalah riba dan bersifat tidak adil. Karena itu Islam menkonsepsikan bagi hasil dalam dunia
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nation, seorang Islam bernama al-Ghazali (1111 M), telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Secara panjang lebar, ia membahas fungsi uang dalam bab “syukur” pada kitab Ihya Ulumuddin. Dalam Bab itu ia mengatakan, “diantara nikmat Allah ialah berlakunya dinar dan dirham. Dengan dinar dan dirham itu, kehidupan dunia bisa diatur, padahal keduanya tak lebih dari logam, yakni barang yang pada asalnya tidak berguna apa-apa. Tetapi semua orang tertarik pada kedua mata uang itu, sebab setiap orang membutuhkan bermacam-macam barang untuk makan, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan lainnya”. Uraian-uraian Al-Gahzali berikutnya, tentang konsep-konsep ekonomi Islam, sungguh menakjubkan. Tapi sayang, banyak di antara umat Islam yang mengutip dan menelaah aspek tasawufnya, tanpa mengkaji secara utuh isi kitab itu, sehingga wacana ekonomi Islam terabaikan. 








II. PERMASALAHAN

Menurut A.Ridwan Amin “ sekitar 90 persen lebih masyarakat dunia tidak mengerti tentang sistem moneter dan keuangan, ketidaktahuan ini kemudian dimanfaatkan secara licik oleh segelintir orang yang sangat ahli di bidang tersebut untuk meraup keuntungan sebesar besarnya. Salah satu contohnya adalah penggunaan “ Fiat Money ” atau uang yang diciptakan tanpa didukung dengan logam mulia sedikitpun. Persoalan ekonomi akibat tidak stabilnya nilai tukar yang bergerak fluktuatif telah berlangsung sejak sistem moneter yang diterapkan di dunia ini adalah fiat currency, dimana mata uang kertas yang tidak ditopang emas dijadikan sebagai alat tukarnya. Dalam makalah ini akan membahas tentang apa “Fiat Money” , bahaya penggunaan “Fiat Money” dan berbagai solusi menghadapinya dalam ruang lingkup ekonomi islam (syariah).











                                                                                                                





III. PEMBAHASAN

A. SEJARAH “FIAT MONEY”
Sampai saat ini, semua orang menganggap uang kertas adalah benar-benar bernilai bahkan orang dapat saling bertikai dan bunuh-bunuhan untuk memperoleh uang kertas itu. Tahukan kita bahwa sebenanya uang kertas itu merupakan surat hutang yang dibuat seolah-olah uang sebenarnya. Bila kita ingin mengetahui segala sesuatu tentang uang kertas (fiat money), maka kita sebaiknya berangkat dari asal mula penggunaan dan peruntukannya. Beberapa sumber menyatakan bahwa yang pertama mencetak uang kertas adalah kaisar Wu Ti dari Cina yang menggunakan uang kertas pada abad kedua sebelum masehi. Setelah itu penggunaan uang kertas makin meluas hingga ke wilayah eropa dan kertas ini digunakan sebagai bukti kepemilikan logam berharga seperti emas dan perak.
Sebuah milestone menanjaknya popularitas uang kertas ini dimulai oleh para ksatria templar (Knight Templar) pada masa sesudah perang salib. Mereka juga mendirikan sebuah lembaga keuangan bernama Usury (riba). Setelah Jerusalem jatuh ke tangan pasukan salib pada 1099, banyak peziarah dari eropa yang ingin mengunjungi kota suci ini. Para peziarah biasanya membawa emas sebagai alat tukar (uang) karena memang emas dan perak lah yang menjadi uang resmi pada masa itu. Pada kenyataannya para peziarah ini sering dirampok di tengah perjalanan oleh para perompak yang mengintai jalur eropa-jerusalem. Melihat fenomena ini, Ksatria Templar yang memang bersifat serakah dan tamak menemukan jalan keluar dari masalah ini dengan cara membentuk lembaga keuangan yang melayani simpan pinjam pertama di dunia bernama usury yang arti harafiahnya adalah riba/bunga.
Lembaga usury ini memberikan solusi keamanan bagi emas para peziarah dengan cara memberikan secarik kertas dengan sandi tertentu sebagai bukti bahwa peziarah tersebut memiliki emas dalam jumlah tertentu. Emas milik peziarah harus disimpan atau dititipkan kepada lembaga ini dan dapat digunakan untuk pengeluaran selama perjalanan lalu bisa kembali ditukar kembali dengan emas sesampainya di jerusalem atau sekembalinya di eropa, setelah dikurangi dengan biaya administrasi tentunya. Bisa dilihat bahwa sistem usury yang didirikan oleh templar ini sangat mirip dengan sistem perbankan konvensional dewasa ini, oleh karena itu usury disebut sebagai awal sistem perbankan yang digunakan saat ini.
Pada masa itu kekuasaan templar sangat besar, mereka hanya bertanggung jawab langsung kepada paus sebagai penjaga keamanan rute peziarah dari eropa menuju jerusalem. Karena wewenang yang diberikan ini, Templar bisa melakukan pemaksaan terhadap peziarah untuk menitipkan emasnya pada mereka. Kertas-kertas jaminan memiliki emas yang diterbitkan templar ini merupakan surat hutang atau promis yang kedepannya berevolusi menjadi uang kertas (paper money atau Fiat money ).
Setelah perjalanan proses yang cukup lama, surat-surat sandi ini semakin banyak beredar dan semakin banyak pula orang yang menggunakannya karena lebih praktis, mungkin bisa disamakan dengan kartu debet atau kartu kredit pada masa kini dimana orang tidak perlu membawa uang yang sebenarnya, cukup surat hutang yang terus menerus berpindah tangan. Jumlah pengguna surat hutang ini semakin banyak juga disebabkan orang-orang telah percaya bahwa mereka dapat mengambil kembali emasnya bila suatu saat dibutuhkan. Akhirnya surat hutang ini pun berubah menjadi uang kertas yang mulai dianggap sama nilainya dengan emas, padahal uang kertas sama sekali tidak bernilai secara intrinsik. Perhatikan bahwa sistem ini sama persis dengan pengguna kartu debet dan nasabah suatu bank yang yakin uangnya dapat ditarik kembali bila suatu saat dibutuhkan, bedanya adalah dulu uang yang disimpan adalah emas yang merupakan uang sejati sedangkan sekarang uang yang disimpan adalah “surat hutang”, artinya terjadi turunan/derivasi sebanyak dua kali pada uang di masa kini (dulu surat hutang dijamin oleh emas, sekarang kartu debet dijamin oleh surat hutang).
Karena orang semakin percaya dengan “uang” ini, maka mereka makin jarang mengambil simpanan emasnya. Hingga keadaan ini, uang kertas masih tidak menimbulkan keburukan karena hanya digunakan sebagai pengganti uang yang sebenarnya. Bencana terjadi ketika para pewaris sistem perbankan templar ini mulai mencetak “uang” lebih banyak lagi melebihi cadangan emas yang dititipkan kepada mereka karena yakin bahwa para pemilik emas tidak akan menarik kembali emasnya secara tiba-tiba dan serentak, dengan kata lain mereka mencetak nota kosong karena memang tidak didukung oleh emas, prinsip sejenis ini disebut fractional reserve.
Bencana apakah yang ditimbulkan oleh kegiatan mencetak uang melebihi cadangan emas ini?. Ketika uang dicetak melebihi jumlah cadangan emas, maka jumlah uang yang beredar di masyarakat akan menjadi besar sehingga menimbulkan inflasi yang menurunkan daya beli masyarakat, terlebih lagi bila jumlah uang yang dicetak jauh melebihi pertumbuhan sektor riil, ini akan berakibat pada hiperinflasi yang pernah terjadi di jerman pada tahun 1922. Bila uang yang dicetak disesuaikan dengan pertumbuhan sektor riil, maka hal ini akan mendukung perekonomian suatu negara, tapi kita selalu mendengar berita bahwa kita mengalami inflasi setiap bulan dan tahun, artinya bank sentral yang berhak mencetak uang telah mencetak uang secara berlebihan yang memiskinkan seluruh masyarakat.
Lebih buruknya lagi, dengan sistem perbankan yang menggunakan uang kertas, maka pihak yang memiliki hak untuk mencetak uang dapat menciptakan uang tanpa perlu modal apapun (create money from nothing). Cukup bermodalkan kertas saja dapat membeli emas, minyak dan sumberdaya alam lainnya. Ini semua merupakan ilusi yang sangat berbahaya. Bahkan Marcopolo, seorang voyager (pengelana) dunia pun menyatakan kecemasannya terhadap uang kertas ketika berkunjung ke Cina yang pada saat itu telah menggunakan uang kertas. catatan Marcopolo mengatakan alat itu (uang kertas) memungkinkan penguasa untuk mendapatkan semua yang berharga tanpa modal apa-apa.
Sistem penggunaan uang kertas (Fiat money) inilah yang mengakibatkan terjadinya jurang pemisah antara sekelompok kecil yang semakin kaya dengan kebanyakan manusia yang semakin miskin bergerak melebar dari hari ke hari. Setelah kita tahu bagaimana keburukan sejati yang dimiliki oleh Fiat money, maka kita bertanya adakah suatu uang yang adil, dimana tidak ada suatu pihak yang sangat diuntungkan sementara yang lain sangat dirugikan? jawabnya adalah “EMAS”

B. PERMASALAHAN YANG DITIMBULKAN “FIAT MONEY”
Persoalan ekonomi akibat tidak stabilnya nilai tukar yang bergerak fluktuatif telah berlangsung sejak sistem moneter yang diterapkan di dunia ini adalah fiat currency, dimana mata uang kertas yang tidak ditopang emas dijadikan sebagai alat tukarnya. Pada era sebelumnya hingga hancurnya Bretton Woods Agreement, peredaran mata uang masih dikaitkan dengan emas. Pada perjanjian tersebut ditetapkan bahwa mata uang suatu negara harus ditopang oleh cadangan dolar, sementara dollar sendiri yang diedarkan oleh AS juga ditopang oleh emas. Dengan demikian pertumbuhan supply dollar akan ditentukan seberapa besar cadangan emas AS.
Namun sistem tersebut dibubarkan oleh AS. Pasalnya AS terus mencetak dollar untuk meningkatkan belanja fiskalnya diantaranya untuk membiayai perang Vietnam. Defisit anggarannya makin membesar sementara rasio antara supply dollar dan cadangan emasnya terus merosot. Pada periode tersebut stok emas AS merosot dari 20 milar dollar menjadi hanya 9 miliar Dollar. AS kemudian mengalami defisit cadangan emas.
Negara-negara lain khususnya negara-negara Eropa Barat dan Jepang sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut diwajibkan menjaga cadangan dollarnya dan menggunakannya sebagai dasar untuk meningkatkan supply mata uang dan kredit di dalam negeri. Padahal semakin hari nilai dollar terus merosot (undervalue) sementara nilai mata uang mereka terus menguat (overvalue). Keadaan ini merugikan mereka sebab nilai ekspor mereka menjadi lebih mahal sehingga pertumbuhan ekonomi mereka merosot.
Akibat beban tersebut negara-negara Eropa secara massif kemudian menukarkan cadangan Dollar mereka dengan emas. AS kemudian tidak berdaya mempertahankan paritas nilai dollar pada emas, sebesar 35 dollar per ons emas. Pada awal 1971, kewajiban dollar telah mencapai lebih dari 70 miliar dollar sementara cadangan emasnya hanya 12 miliar Dollar. Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 1971, secara unilateral dan tanpa berkonsultasi dengan negara-negara aliansi dan IMF, AS menghentikan berlakunya Bretton Woods Agreement yang telah digagas sejak tahun 1942. Sejak saat itulah emas tidak lagi menjadi backing mata uang dunia. Era tersebut selanjutkan dikenal dengan era mata uang kertas (fiat money) dimana dollar sebagai panglimanya.
Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhany, secara politis langkah yang dilakukan oleh AS untuk menghentikan pengkaitan Dollar dengan emas adalah didorong oleh keinginan AS untuk memposisikan dollar sebagai standar moneter internasional hingga menguasai pasar moneter internasional. Oleh karena itu standar emas kemudian dianggap tidak lagi dapat dipergunakan di dunia. Standar moneter Bretton Woods kemudian hancur dan kurs pertukaran mata uang terus berfluktuasi. Dari sinilah muncul berbagai kesukaran dalam mobilitas barang, uang dan orang.
Sejak saat itu mata uang dunia menjadi tidak stabil. Mata uang AS dan seluruh dunia terus bergolak. Fluktuasi tingkat nilai tukar menjadi sulit untuk diprediksi bahkan kadangkala bergerak secara ekstrim. Belum lagi inflasi terus membumbung akibat percetakan mata uang kian tak terkendali. Suatu keadaan yang sangat meresahkan para pelaku ekonomi. Inilah diantara konsekuensi yang ditimbulkan oleh mata uang fiat.
Secara sederhana kemunculan uang kertas mulanya adalah sebagai representasi dari komoditas khsususnya emas. Hal ini dilakukan akibat sulitnya untuk melakukan transaksi dengan membawa emas khususnya pada barang-barang yang bernilai tinggi. Orang akan menerima uang representasi tersebut sebab ada jaminan dari pihak yang mengeluarkan kertas tersebut dalam hal ini pemerintah bahwa kertas tersebut dapat ditukar emas senilai dengan yang dinyatakan dalam kertas tersebut.
 Pemegangnya dapat menukar uang tersebut kapanpun dan berapapun ia mau. Namun perlahan-lahan negara justru mengeluarkan kertas jauh lebih banyak dari emas yang mereka miliki. Akibatnya kertas-kertas tersebut tak lagi cukup untuk dikonversi dengan emas. Akhirnya masyarakat dipaksa untuk menggunakan kertas tersebut sebagai alat transaksi. Dalam sejarah moneter dunia dijumpai bahwa penggunaan mata uang kertas yang tidak ditopang (backed) oleh komoditas seperti emas menyebabkan sejumlah masalah yang sangat serius dalam perekonomian. Diantara masalah tersebut adalah:
Pertama, mata uang kertas menyebabkan inflasi yang tinggi. Akibatnya nilai uang terus merosot.  Sebagai contoh, pada awal abad ke-9, Cina mengedarkan uang kertas—sekaligus sebagai negara pertama yang menggunakan uang kertas—untuk mengganti tembaga yang saat itu mengalami kelangkaan. Cina telah memproduksi mata uang kertas yang sama sekali tidak ditopang oleh emas atau komoditas lainnya. Namun alih-alih membenahi perekonomiannya, pada tahun 1051 justru Cina terjerembab pada tingkat inflasi yang sangat tinggi akibat produksi uang kertas yang terus berlangsung. Hal yang sama juga terjadi di Inggris tahun 1914 ketika Bank of England menerbitkan uang kertas yang sama sekali tidak ditopang oleh emas. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membiayai angkatan perang pemerintah. Pertumbuhan uang (money base) Inggris pada masa perang tersebut naik hingga 41,2 persen. Dampaknya mudah ditebak. Inflasi membumbung hingga mencapai 13,5 persen. Kondisi tersebut memaksa Inggris dan sejumlah negara lainnya kembali pada standar emas (gold exchange rate). Demikian pula pasca berkecamuknya Perang Dunia I, dunia modern menyaksikan bahaya dari fiat money yang dikeluarkan tanpa ditopang oleh emas. Beberapa saat sebelum perang, Bank Sentral Jerman membuat keputusan untuk menghentikan konvertibilitas mark dengan emas. Uang kertas mark selanjutnya dapat diterbitkan tanpa batas untuk membiayai angkatan perang Jerman. Akibat emas tidak dijadikan jangkar (anchor) membuat nilai mata uang negara tersebut paling rendah di dunia. Pada akhir tahun 1923 harga di negara tersebut dapat melonjak dua kali lipat hanya dalam hitungan jam. Harga sepotong roti misalnya bisa mencapai 200 miliar mark. Bahkan ibu-ibu rumah tangga menjadikan uang kertas mark sebagai kayu bakar karena nilainya jauh lebih rendah dari kayu bakar itu sendiri!
Indonesia pun pernah merasakan dampak buruk dari penggunaan mata uang kertas. Pada tahun 1965 akibat tingginya defisit anggaran pemerintah Indonesia dan hyperinflasi yang mencapai 635,3 %, pemerintah melalui bank Indonesia melakukan pemotongan nilai uang (sanering) dari Rp. 1.000,- menjadi Rp.1,-. Kebijakan ini didasarkan pada Penetapan Presiden No.27 tahun 1965 yang diberlakukan pada tanggal 13 Desember 1965. Bisa dibayangkan kekayaan orang saat itu terpangkas hampir 1.000 kali lipat (Singgaling dkk, 2004). Tak heran jika Robert Mundell (1997) seorang ekonom yang pernah meraih Nobel, mengatakan bahwa terus membanjirnya uang kertas tanpa didukung oleh likuiditas akan memicu terjadinya resesi ekonomi. Alasannya hingga saat ini Bank Sentral AS terus  meningkatkan pertumbuhan supply dollar. Dengan membanjirnya uang kertas dan kredit, maka harga barang dan jasa (inflasi) akan semakin tinggi dan sangat mungkin suatu saat berubah menjadi hyperinflasi.
Kedua, legitimasi mata uang kertas sangat rapuh sebab ia sama sekali tidak disandarkan pada komoditas yang bernilai seperti emas dan perak. Ia hanya ditopang oleh undang-undang yang dibuat pemerintahan suatu negara. Jika keadaan politik dan ekonomi negara tersebut tidak stabil maka tingkat kepercayaan terhadap mata uangnya juga akan menurun. Para pemilik uang akan beramai-ramai beralih ke mata uang lain atau komoditas yang dianggap bernilai sehingga nilai uang tersebut terpuruk.  Sebagai contoh ketika terjadi kegoncangan pasar modal (market crash) yang mengakibatkan depresi pada tahun 1929, orang-orang di seluruh dunia mulai menampakkan ketidakpercayaannya terhadap uang kertas sehingga mereka berlomba-lomba menimbun (hoarding) emas dan meninggalkan mata uang mereka. Di AS, nilai dolar makin kritis sehingga Presiden Rosevelt tidak memiliki pilihan kecuali menghentikan produksi mata uang emas dan memenjarakan orang yang menyimpan emas dan mengenakan denda dua kali dari emas yang disimpan.
Ketiga, uang kertas telah menjadi sumber pemasukan peerintah yang paling mudah. Dengan biaya produksi yang sangat rendah dibanding nilai nominal yang dikandungnya, mereka dengan mudah mencetak uang-uang kertas (di sejumlah negara dilakukan oleh Bank sentral). Uang tersebut kemudian ‘dipaksakan’ kepada rakyat untuk diterima sebagai alat tukar. Dengan menukarkan menukarkan uang tersebut dengan barang dan jasa yang diproduksi oleh rakyatnya, pemerintah dapat menikmati hasil keringat rakyatnya dengan mudah. Dengan kata lain mata uang kertas telah menjadi alat pemerasan negara terhadap rakyatnya. Rakyat kemudian menjadi korban dengan inflasi yang tinggi. Penerimaan pemerintah Argentina misalnya dari pencetakan uang baru pada tahun 1985-1990, diperkirakan mencapai 54 persen dari total pendapatannya. Bahkan pada tahun 1987 mencapai 86%. Akibatnya nilai peso terus melemah dan menjadi tidak stabil. Rakyat Argentina kemudian enggan menggunakan peso dan lebih memilih menggunakan dollar AS yang nilainya dianggap lebih stabil (Abdullah, 2006).
Hal yang sama juga dirasakan oleh rakyat Afganistan ketika berada di bawah rezim Rabbani. Pada masa sebelumnya nilai tukar resmi mata uang Afganistan adalah 50 afgani per dollar AS dengan pecahan terbesar 1.000 afgani. Pada musim panas 1991 nilai tukar tersebut telah mencapai 1.000 afgani per dollar. Pemerintah kemudian mengeluarkan pecahan uang baru yang bernominasi 5.000 afgani dan kemudian 10.000 afgani. Hasilnya setiap kali mata uang tersebut diterbitkan maka nilai mata uang tersebut terus melorot. Pada bulan September 1996 ketika Kabul jauh di tangan pasukan Taliban, mata uang afgani diperdagangkan dengan nilai 17.800 per dollar. Bahkan di pusat pemerintahan Mazari Sharif—daerah yang dikuasi oleh Abdul Rasyid Dostum yang berpisah dengan Rabbani pada tahun 1994—nilai afgani mencapai 25.600 per dollar.  Rakyat Pakistan juga menjadi korban dari penggunaan fiat money ini. Pada tahun 1991-1996 pertumbuhan jumlah uang beredar di negara tersebut mencapai 10,6 persen. Selama periode tersebut pemerintah Pakistan diperkirakan memperoleh penerimaan sebesar 97,173 miliar rupee hanya dari pencetakan uang kertas dan pecahan logam (Abdullah, 2006).
Keempat, penggunaan mata uang kertas menciptakan ketidakadilan dalam kegiatan ekonomi. Hal ini dirasakan setelah berakhirnya Bretton Woods, dimana negara-negara kuat yang memiliki mata uang yang dperdagangkan secara internasional dengan mudah memperoleh kekayaan negara-negara lain hanya dengan mencetak uang. Dengan mencetak lembaran-lembaran kertas dengan ukuran dan gambar dan tanda tertentu, mereka daapt mengambil keutungan berlipat-lipat dengan membeli apa saja yang nilai barangnya (intrinsic value) jauh lebih tinggi dari uang biaya produksi uang mereka. Mekanisme ini dikenal dengan istilah seignorage uang fiat. Seignorage berarti keuntungan yang diperoleh dalam memproduksi uang akibat perbedaan antara nilai nominal (face-value) suatu mata uang dengan biaya memproduksi uang tersebut (intrinsic value).  Sebagai contoh biaya untuk memproduksi uang kertas 100 dollar adalah 20 sen maka seignorage-nya sebesar 99.80 dollar. Dengan kata lain setiap kali AS mencetak satu lembar uang 100 dollar, maka ia akan mendapatkan keuntungan 99,80 dollar.
 Federal Reserve, bank sentral AS telah menikmati seignorage yang sangat besar dengan mengeluarkan dollar sejak mata uang tersebut menjadi cadangan mata uang internasional yang paling dominan. Dollar memiliki daya beli yang kuat di luar AS sehingga dengan leluasa AS memanfaatkan kesempatan ini untuk terus mencetak Dollar. Dengan kemampuan mencetak dollar pemerintah AS dapat membeli dari seluruh dunia apapun yang mereka inginkan. Sebagai mata uang internasional dollar dapat terus dicetak oleh AS berapapun yang ia kehendaki untuk membiayai kebijakan fiskalnya termasuk membiayai politik luar negerinya. Untuk Perak Irak misalnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Joseph E Stiglitz di dalam bukunya The Three Trillion Dollar War nilainya lebih dari 3 triliun dollar.  Barang dan jasa yang diproduksi oleh negara-negara lain terus mengalir ke negara tersebut jauh diatas nilai ekspornya. Akibatnya defisit neraca perdagangan AS bulan Agustus 2008 misalnya telah mencapai lebih dari 66 miliar dollar. Pada bulan Agustus 2008 defisit pemerintah federal telah mencapai 706,9 miliar dollar. Defisit tersebut kemudian dibayar dengan utang dalam nominasi dollar. Kini utangnya telah mencapai 10,024 tiliun dollar.
Disisi lain negara-negara lain khususnya negara-negara berkembang justru mengalami kerugian yang luar biasa akibat praktek seignorage ini. Salah satu contoh yang paling nyata adalah pembelian minyak oleh AS sebesar 12 juta barrel per hari untuk menutupi defisit produksinya. Sebagian besar minyak tersebut dibeli dari Arab Saudi dengan hanya mencetak Dollar baru yang kemudian ditransfer ke rekening pemilik perusahaan minyak Arab Saudi. Meski Arab Saudi dapat membeli barang lain dengan lembaran-lembaran dollar tersebut namun pada faktanya tetap saja biaya yang dikeluarkan untuk melakukan investasi dan penambangan minyak jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pembuatan Dollar AS.
Kelima, mata uang kertas telah mendorong gelembung ekonomi yang dapat berujung pada ledakan ekonomi. Setiap tahunnya AS harus menjual sekitar 1,5 miliar dollar surat utang untuk menutupi defisit anggarannya. Bank-bank sentral asing, korporasi dan individu selanjutnya membeli instrumen utang dari The Fed, Bank sentral AS. Sementara sekuritas berharga (treasury security) tersebut diciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Tidak berlebihan sejumlah kalangan menyatakan cepat atau lambat dollar pasti mengalami kebangkrutan.  Bahaya kerapuhan dollar sebagai mata uang kertas paling kuat saat ini juga telah diwanti-wanti oleh Samuelson sebagaimana yang ditulis dalam The Washington Post (17/11/004). Menurutnya pada tahun 2004 saja, investor swasta telah memborong saham dan obligasi AS. Secara keseluruhan investor asing telah memegang 13 persen dari total saham AS, 24 persen obligasi korporasi dan 43 persen surat-surat berharga pemerintah AS (treassury securities). Sturuktur kepemilikan aset tersebut sangat berbahaya.
Alasannya, saat ini dunia telah menerima dollar lebih banyak daripada yang dia inginkan. Jika terdapat momentum krusial sewaktu-waktu saham-saham dan obligasi tersebut akan dilepas oleh pemiliknya dan resesi global yang akut akan terjadi. Orang-orang beramai ramai menjual dollar dan beralih ke mata uang kuat lainnya seperti Euro dan Yen dan nilai dollar dipastikan turun signifikan. Anjloknya dollar berarti nilai dari saham dan obiligasi yang dipegang oleh investor asing tersebut juga akan terjun bebas. Mereka berlomba menjual aset-aset yang mereka memiliki. Pada saat itulah pasar-pasar saham akan anjlok secara tajam dan dollar AS akan kehilangan nilainya. Bahaya ini kian mengancam tatkala dunia telah dibanjiri dolar. Di pasar-pasar uang saja, terdapat gelembung-gelembung dollar AS yang berjumlah 80 triliun Dollar AS pertahun. Jumlah ini 20 kali lipat melebihi nilai perdagangan dunia, yang jumlahnya sekitar 4 triliun Dollar AS pertahun. Artinya, gelembung itu bisa membeli segala yang diperdagangkan sebanyak 20 kali lipat dari biasanya. Gelembung semakin lama semakin membesar dan secara pasti gelembung itu suatu saat akan meledak yang menyebabkan keruntuhan ekonomi global yang jauh lebih buruk dari depresi ekonomi tahun 1929.
Keenam, Akibat nilainya yang tidak stabil mata uang kertas khususnya dengan rezim bebas mengambang telah menjadi sarana spekulasi yang ganas. Uang tidak lagi difungsikan semata untuk menjadi alat tukar, alat untuk menyimpan dan menghitung kekayaan riil, namun justru lebih banyak digunakan untuk kegiatan spekulasi.  Krisis moneter yang menimpa negara-negara Asia, Argentina dan Rusia pada tahun 1998 diakibatkan oleh sistem nilai tukar yang tidak stabil.
Episentrum krisis yang bermula di Thailand tersebut dimulai dari derasnya uang spekulatif yang panas (hot money) yang mengalir deras ke negara tersebut untuk membeli saham-saham properti. Akibatnya nilainya terus menggelembung (bubble) jauh melebihi nilai riilnya. Ketika terjadi goncongan modal spekulatif yang liar tersebut berbalik arah dan mengakibatkan nilai tukar bath jatuh. Efeknya kemudian menjalar kemana-mana termasuk ke Indonesia. Rupiah bahkan sempat menyentuh 16 ribu per dolar.  Para spekulan sangat diuntungkan dengan adanya pergerakan (fluktuasi) nilai tukar satu mata uang terhadap mata uang lainnya. Sementara pemerintah (dalam hal ini bank sentral) dipaksa untuk terus menjaga nilai tukar mata uangnya. Diantaranya melalui intervensi dengan ikut menjual dan membeli devisa, meski devisa itu kadang diperoleh diperoleh dari utang LN. Sebagai contoh pada akhir 1998 IMF memberikan utang kepada pemerintah Brazil senilai 50 miliar dollar untuk menjaga nilai tukarnya yang mengalami overvalued. Namun sayang intervensi pemerintah tersebut sia-sia, sementara uang utangan tadi seakan hilang ditelan angin. Uang tersebut sebagian besar mengalir ke kantong-kantong para spekulan. Beberapa spekulan merugi namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh seluruh uang yang dikucurkan pemerintah tersebut. Akan lain ceritanya jika dana tersebut digunakan untuk membiaya sektor riil yang dapat menggerakkan perekonomian Brazil.
Adanya peluang spekulasi di pasar uang plus pasar modal, justu membuat uang yang diperoleh dari sektor riil (main street) mengalir deras sektor non riil tersebut (wall street). Dana-dana hasil penjualan minyak Timur Tengah misalnya yang lazim dikenal dengan Sovereign Wealth Fund (SWF) kini lebih banyak diinvestasikan di portofolio (saham, obligasi, atau surat-surat berharga lainnya) baik yang dterbitkan pemerintah ataupun swasta. Abu Dhaby Investment Authority (ADIA) misalnya, milik pemerintah Uni Emirat Arab, kini memiliki SWF sebesar US$ 1,32 triliun. Dana-dana tersebut kini digunakan membeli sejumlah saham perusahaan kelas dunia baik yang tengah yang tengah kolaps maupun yang sedang booming termasuk membeli saham klub sepak bola Inggris Manchaster City. Dana-dana tersebut tentu akan sangat berguna bagi jutaan manusia jika diinvestasikan pada sektor riil yang produktif seperti pembangunan infrastruktur, bantuan kemanusiaan kepada orang-orang miskin yang jumlah jutaan di negeri-negeri Islam.

C. MENGATASI “FIAT MONEY”
Dinar adalah koin emas murni seberat 4,25 gram; dirham adalah koin perak seberat 3 gram. Keduanya patut dijadikan mata uang alternatif pengganti fiat money. Dinar-dirham bernilai ril karena terbuat dari logam mulia (commodity currency). Ini berbeda dengan uang kertas yang hakikatnya tak lebih dari kertas cetakan belaka, nihil karena tak mewakili nilai emas atau perak. Potonglah sekeping dinar emas menjadi bagian-bagian kecil, seluruh bagiannya tetap berharga namun guntinglah selembar uang kertas maka ia sama sekali tak berguna. Disebabkan kandungannya, dinar dan dirham lebih stabil nilainya ketimbang fiat money. Sejarah menunjukkan, dinar tak mengenal inflasi sementara fiat money adalah biangnya inflasi. Tidak heran bila banyak kalangan menyebut dinar-dirham sebagai mata uang surga (the heavens currency). Maksudnya, bukan mata uang yang digunakan di surga melainkan sebagai penjaga keadilan yang menjadi salah satu ciri penghuni surga (hal. 107).

            Dinar-dirham hanya sekadar nama. Esensinya, keduanya adalah logam berharga: emas dan perak. Sejarah menunjukkan, ribuan tahun peradaban manusia menempatkan emas dan perak sebagai alat moneter. Koin emas pertama kali digunakan 500 tahun sebelum masehi tatkala Raja Croesus berkuasa hingga ke era Julius Caesar dan Kaisar Nero. Dinar sendiri dikenal sebagai mata uang Byzantium dan dirham dari Persia. Belakangan, Nabi Muhammad SAW mengakuinya sebagai mata uang. Koin emas dan perak terakhir digunakan sebagai mata uang pada tahun 1924 seiring jatuhnya Kekhalifahan Osmaniah di Turki.
Pamor dinar yang meredup selama lebih setengah abad, kembali dihidupkan oleh Syeikh Dr Abdalqadir as-Sufi. Pertengahan Agustus 1991, tokoh sufi di Eropa itu mengeluarkan fatwa haram penggunaan uang kertas sebagai alat tukar. Dinar-dirham dicetak kembali oleh Islamic Mint Spanyol tahun 1992 di bawah kewenangan World Islamic Trade Organization (WITO).












IV. PENUTUP

            Inilah beberapa bahaya mata uang kertas yang tidak di back-up oleh emas. Gelembung uang yang terus tumbuh tanpa batas dan membuat ekonomi global menjadi tidak stabil. Krisis finansial saat ini dan sejumlah krisis sebelumnya semakin memperjelas bahwa sistem moneter saat ini yang menggunakan mata uang kertas (fiat money) sangat rapuh dan tidak layak diadopsi bagi mereka yang masih berfikir dengan jernih. Dunia membutuhkan sistem moneter yang lebih adil dan stabil. Dan mata uang emas yang jejak rekamnya telah teruji di pentas moneter internasional selama ratusan tahun merupakan standar moneter paling layak diperhitungkan. Maka tinggalkanlah uang kertas.






























DAFTAR PUSTAKA

·         Chapra,Umer M. 1997. Alquran : Menuju Sistem Moneter Yang Adil. Dhana Bakti Prima Yasa : Yogjakarta
·         Kamel, Ahamed. 2002. The Islamic Gold Dinar. Pelanduk Publication : Selangor
·         Riawan,A. 2007. Satanic Finance. Celestial Publishing
·         Sami’, Abdul. 2006. Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Pustaka Pelajar : Yogjakarta
·         Sarkaniputra, Murasa.1999. Pengantar Ekonomi Islam. IAIN Syarif Hidayatullah : Jakarta